Langkah yang Menyentuh Tanah: Letkol Amos Silaban dan Jejak Pengabdian di Desa Pinggang

Manggarai – Senja menua perlahan di Desa Pinggang, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai. Di antara lembah hijau dan perbukitan yang diselimuti cahaya keemasan, suasana desa seolah berhenti sejenak. Langit merunduk tenang, angin menahan napas, dan suara jangkrik bersahutan lirih di antara rumpun bambu. Sore itu bukan sore biasa. Ada langkah berbeda menyusuri setapak tanah yang biasa dilalui para petani—langkah seorang pemimpin yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.

Dialah Letkol Arh Amos Comenius Silaban, Komandan Kodim 1612/Manggarai. Ia hadir tanpa iring-iringan kendaraan dinas, tanpa kemegahan upacara atau sorotan kamera. Dengan seragam lapangan yang sederhana dan sepatu penuh debu, ia berjalan menapaki jalan menanjak, tanah licin, dan bebatuan keras yang menjadi saksi perjuangan rakyat kecil di kaki bukit Manggarai.

Beberapa warga yang sedang menjemur hasil panen berhenti sejenak. Mereka menatap dan tersenyum—sebuah sambutan tanpa kata, tapi penuh makna. Letkol Amos membalasnya dengan sapaan ramah, menyalami tangan-tangan yang kasar oleh kerja keras. Tak ada jarak antara pangkat dan rakyat, antara komando dan kehidupan. Yang tersisa hanyalah rasa saling menghormati, saling menguatkan.

Hari itu, sang Dandim tidak sekadar meninjau. Ia merasakan. Ia tidak hanya membaca laporan, tetapi menjejak langsung tanah yang digarap; mencium aroma lumpur, melihat keringat yang menetes, dan mendengar denyut kehidupan dari dekat. “Kalau kita ingin tahu kehidupan rakyat, maka kita harus menapak di tanah yang sama dengan mereka,” ujarnya pelan, menatap jauh ke arah hamparan sawah yang berkilau diterpa senja.

Di antara para Babinsa yang mendampinginya, tampak semangat yang berbeda. Mereka tidak hanya bangga karena didatangi pemimpin, tetapi karena pemimpin itu ikut memanggul arti pengabdian. Letkol Amos berjalan sejajar dengan mereka—tanpa perintah, tanpa jarak. Teladanlah yang berbicara. Bukan pangkat yang ia tegakkan, melainkan rasa kemanusiaan dan ketulusan.

Ketika matahari perlahan tenggelam di balik bukit, bayangan Letkol Amos dan para prajuritnya memanjang di tanah desa. Di bawah langit oranye, langkah mereka meninggalkan jejak bukan di tanah yang basah, tetapi di hati masyarakat yang menyaksikan. Sebuah jejak tentang kehadiran seorang pemimpin yang memilih berjalan bersama, bukan berdiri di depan.

Kunjungan Letkol Arh Amos Comenius Silaban ke Desa Pinggang bukan sekadar agenda rutin militer, tetapi simbol dari falsafah kemanunggalan TNI dan rakyat—bahwa kekuatan sejati bukan berasal dari senjata atau jabatan, melainkan dari kemampuan untuk menyatu dengan kehidupan masyarakat yang dilayani.

Dalam dunia yang sering menilai pemimpin dari kursi dan tanda pangkatnya, kehadiran Letkol Amos menjadi pengingat bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang tidak takut kotor oleh tanah rakyatnya sendiri. Ia menapaki jalan yang sama dengan para petani, mendengar cerita dari balik kesunyian desa, dan memastikan bahwa pembangunan tidak hanya sampai di laporan, tetapi benar-benar menyentuh kehidupan.

Dan ketika senja benar-benar tenggelam di Desa Pinggang, cahaya yang tertinggal bukan hanya dari langit, tetapi dari hati orang-orang yang percaya bahwa masih ada pemimpin yang berjalan dengan hati—seorang prajurit yang mengerti bahwa melayani rakyat adalah bentuk tertinggi dari pengabdian.

Mungkin Anda juga menyukai